Oleh: Dr Muhammad Isa Anshory
Tidak ada bukti bahwa Nabi Muhammad pernah belajar seni menulis. Umumnya orang sepakat bahwa beliau buta huruf sepanjang hayat. Ketika turun wahyu pertama di gua Hira’, yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1 hingga 5 yang mengandung perintah untuk membaca, maka ayat-ayat tersebut sebenarnya bukan isyarat tentang persoalan buta huruf, melainkan pentingnya pendidikan yang sehat bagi masyarakat di masa mendatang.
Ayat-ayat pertama yang dibebankan kepada Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam ini mengisyaratkan apa yang akan terjadi tentang ilmu pengetahuan dalam Islam. Oleh karena itu, kita melihat orang-orang Islam pada periode Mekah mempelajari Al-Qur’an, padahal jumlah mereka sangat sedikit, di samping mereka juga dalam ketakutan terhadap musuh-musuhnya karena sering disiksa. Demikian Prof. Dr. Muhammad Mushthafa Al-A‘zhami menyatakan dalam bukunya The History of The Qur’anic Text hlm. 55 dan Dirâsât fî Al-Hadîts An-Nabawî wa Târîkh Tadwînihi hlm. 48.
Awal Pendidikan Islam di Mekah
Setelah peristiwa turunnya wahyu pertama, selang beberapa waktu kemudian diturunkanlah wahyu berikutnya, yakni Surat Al-Mudatsir ayat 1-7, yang artinya sebagai berikut, “Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu, agungkanlah! Dan pakaianmu, bersihkanlah! Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan (untuk memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
Dengan diturunkannya wahyu ini, dapat dipahami bahwa proses pendidikan Islam pada masa Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam, bahkan predikat beliau sebagai seorang pendidik pada hakikatnya sudah dimulai. Beliau pun pertama-tama mendidik orang-orang terdekatnya. Dimulailah pendidikan itu kepada istrinya, Khadijah radhiyallahu ‘anha, lalu saudara sepupunya yang tinggal serumah dengannya, yaitu Ali bin Abi Thalib, juga anak angkatnya, Zaid bin Haritsah.
Beliau juga mendidik dan mendakwahi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Selain sebagai sahabat paling dekat, Abu Bakar juga merupakan kader Nabi dalam berdakwah dan mendidik umat. Dari tangan Abu Bakar, beberapa orang Quraisy masuk Islam. Mereka adalah Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi Waqqash, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, dan beberapa penduduk Mekah lainnya.
Setelah Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam memperoleh 30 murid yang memeluk dan berkeinginan belajar Islam, beliau kemudian menjadikan rumah Al-Arqam bin Abil Arqam di bukit Shafa sebagai tempat belajar dan konsolidasi. Di tempat inilah kader-kader pertama Nabi itu ditempa. Adapun pembelajaran awalnya adalah materi tentang wahyu yang telah diturunkan hingga pada praktik-praktik ibadah secara kompleks. Rasulullah dan para sahabat juga melaksanakan praktik shalat berjamaah di tempat tersebut. (Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 3)
Mengajar dan Mempelajari Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi materi utama yang diajarkan Nabi kepada murid-muridnya, dibacakan kepada orang yang bertanya tentang Islam atau hendak masuk Islam, bahkan juga dibacakan kepada mereka yang menentang Islam. Abu Ubaidah, Abu Salma, Abdullah bin Al-Arqam dan Utsman bin Mazh‘un menemui Nabi Muhammad untuk menanyakan hal ihwal Islam. Nabi menjelaskan dengan membacakan Al-Qur’an, kemudian mereka menerima Islam. Beberapa orang Kristen dari Ethiopia mengunjungi Nabi ke Mekah untuk menanyakan tentang Islam. Beliau menjelaskan kepada mereka dengan membacakan Al-Qur’an. Mereka pun masuk Islam.
Ketika ‘Utbah bin Rabi‘ah pergi menemui Nabi dengan membawa usulan atas nama orang Quraisy dan menawarkan rayuan dengan harapan beliau mau meninggalkan misinya, maka Nabi dengan sabar menunggu hingga ‘Utbah selesai berbicara. Setelah itu, beliau berkata, “Sekarang dengarkan ucapan saya!” Beliau kemudian membacakan beberapa ayat sebagai respons terhadap tawaran mereka. (The History of The Qur’anic Text, hlm. 59-60)
Al-Qur’an yang dibacakan itu mempunyai kekuatan luar biasa sehingga mampu melahirkan perubahan besar. Secara perlahan, para sahabat menerima pengajaran Al-Qur’an dari Nabi satu, dua, atau paling banyak sepuluh ayat. Mereka tidak mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang lain hingga mempelajari seluruh kandungan sepuluh ayat itu, yaitu ilmu dan amal sekaligus. Mereka berkata, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal dengan sekaligus.” (Muhammad Ajaj Al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, hlm. 86)
Sayyid Quthub menggambarkan sikap dan pandangan para sahabat ketika menerima pengajaran Al-Qur’an dari Nabi seperti seorang prajurit di lapangan yang menerima perintah harian dari komandannya untuk segera dilaksanakan segera setelah diterima. Oleh karena itu, tidak seorang pun yang meminta tambahan perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan saja. Sebab, ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung jawab di atas pundaknya. Ia merasa puas dengan kira-kira sepuluh ayat yang dihafal dan langsung dilaksanakan.
Para sahabat membaca Al-Qur’an bukan dengan tujuan untuk menambah wawasan atau menikmati gaya bahasanya. Mereka membaca Al-Qur’an untuk menerima perintah Allah dalam urusan pribadinya, urusan golongan dimana ia hidup, dan urusan hidup dimana ia bersama golongannya hidup di atasnya. (Ma‘âlim fî Ath-Thâriq dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, hlm. 101)
Dengan sikap dan pandangan demikianlah, Al-Qur’an yang dibaca para sahabat itu memberi kekuatan dan memunculkan perubahan. Para sahabat yang menyaksikan Al-Qur’an turun dan hidup bersamanya itu kemudian oleh Sayyid Quthub dinamakan sebagai generasi Qur’ani yang unik. Mereka adalah generasi terbaik yang layak menjadi teladan bagi generasi-generasi sesudahnya. Wallahu a‘lam. []