Lahirnya Budaya Ilmu Islam

0
326
Hijrah nabi

Oleh: Dr Muhammad Isa Anshory

Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan budaya ilmu adalah wujudnya suatu keadaan dimana setiap lapisan masyarakat melibatkan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kegiatan keilmuan di setiap kesempatan. Budaya ilmu juga merujuk pada wujudnya suatu keadaan dimana segala tindakan manusia baik di tahap individu, apalagi di peringkat masyarakat, diputuskan dan dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan; entah itu melalui pengkajian maupun melalui musyawarah. Dalam budaya ini, ilmu dianggap sebagai satu keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat di setiap peringkat. Budaya tersebut akan memberi penghormatan, bantuan, kemudahan, dan pengakuan yang tinggi kepada siapa pun yang melibatkan diri dalam mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan. (Budaya Ilmu; Satu Penjelasan, hlm. 29)

Budaya ilmu Islam lahir sejak lahirnya agama Islam. Ilmu menduduki tempat yang amat tinggi dalam pandangan alam, syariat, akhlak, dan peradaban Islam. Penekanan kepada ilmu dalam ajaran Islam jelas terdapat dalam sumber asas agama, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad shallallâhi ‘alayhi wa sallam, serta dalam ajaran semua ulama Islam dari dahulu hingga sekarang. Penekanan pada pembacaan, sebagai wahana penting dalam usaha keilmuan, dan pengakuan bahwa Allah adalah sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia merupakan perkara awal yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang ummi, sebagaimana tertera dalam surat Al-‘Alaq: 1-5.  

Iklim Kehidupan Intelektual di Madinah

Setelah kaum Muslim hijrah ke Madinah, dakwah Islam menemukan titik-titik cerah dimana orang-orang Anshar memeluk Islam. Iklim kehidupan intelektual juga mengalami perubahan karena orang-orang Anshar yang hidup sebagai bangsa yang ummi tidak menghendaki diam dalam kebodohan. Dari sinilah lembaran baru kehidupan intelektual dimulai.

Pada waktu Nabi masih tinggal di Mekah, orang Anshar seperti Rafi‘ bin Malik pernah menghadap Nabi untuk belajar Al-Qur’an. Sesudah kembali ke Madinah, Rafi‘ mengajarkannya di sana. Tidak hanya itu, mereka bahkan meminta agar Nabi mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan agama dan Al-Qur’an kepada mereka. Nabi pun mengirimkan Mush‘ab bin ‘Umair.

Begitulah, Nabi sangat memperhatikan masalah ilmu sejak beliau masih diperangi di Mekah. Sesudah hijrah, Nabi lebih leluasa mengembangkan ilmu. Sejak itu pula, beliau menggariskan kebijakan-kebijakan dalam pendidikan yang tidak ada bandingannya sampai sekarang.  

Yang pertama kali dilakukan Nabi setelah hijrah ke Madinah ialah membangun masjid dimana disediakan ruangan khusus untuk pendidikan yang disebut shuffah. Menurut M.M. Azami, shuffah bisa disebut sebagai perguruan intern yang pertama kali dalam Islam. Tempat itu juga dipakai sebagai asrama pelajar yang tidak mampu.

Jumlah orang yang tinggal di dalam Shuffah tidak tetap, tergantung situasi dan kondisi. Demikian menurut Abu Nu‘aim. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa jumlah mereka mencapai empat ratus orang. Adapun menurut Qatadah, jumlah mereka mencapai sembilan ratus orang. Salah seorang alumni Shuffah yang cukup terkenal adalah Abu Hurairah. (M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hlm. 80-84)

Semangat Para Sahabat dalam Mencari Ilmu  

Para sahabat sangat bersemangat dalam mencari ilmu. Sebagian mereka bahkan tinggal untuk sementara bersama Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam. Mereka mempelajari hukum-hukum dan tata cara ibadah dalam Islam, lalu kembali ke tengah keluarga dan kaumnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Malik bin Al-Huwairits, ia menceritakan, “Kami datang kepada Nabi shallallâhi ‘alayhi wa sallam dan kami adalah orang-orang muda yang umurnya hampir sebaya. Kemudian kami tinggal sementara bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga kami menyusahkan keluarga kami (karena kami meninggalkan mereka). Beliau bertanya tentang anggota keluarga yang kami tinggalkan. Kami pun memberitahu tentang hal itu kepada beliau. Beliau adalah teman yang penyayang. Beliau bersabda, ‘Kembalilah kepada keluarga kalian! Ajarkan dan perintahkan mereka! Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan. Hendaklah orang yang paling tua mengimami kalian.’”

Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam sambil tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti menggembala dan berdagang. Mereka menghadiri majelis Rasulullah secara bergantian karena sebagian dari mereka tidak bisa menghadirinya. Hal inilah yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab radhiyallâhu ‘anhu. Ia berkata, “Aku dan seorang tetanggaku, sahabat Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid –mereka adalah penduduk di sekitar Madinah– secara bergantian datang kepada Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam. Pada suatu hari ia yang datang dan hari yang lain aku yang datang. Jika aku yang datang pada suatu hari, maka sepulang dari Rasulullah aku mendatanginya untuk memberitahu wahyu atau hal lain yang aku terima. Sebaliknya, jika ia yang datang pada suatu hari, maka ia melakukan hal yang sama.”

Al-Barra’ bin ‘Azib Al-Awsy radhiyallâhu ‘anhu berkata, “Kami tidak mendengar (secara langsung) semua hadits dari Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam. Sahabat-sahabat kamilah yang memberitahu, sementara kami sibuk menggembalakan unta. Para sahabat Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam mencari hadits –yang tidak sempat mereka dengar dari sahabat-sahabat lain seangkatan mereka– dari sahabat yang lebih hafal daripada mereka. Mereka bersikap ketat menyangkut orang (sumber hadits) yang mereka dengar.”

Dalam riwayat lain dari Al-Barra’ dikatakan, “Kami semua tidak mendengar hadits (langsung dari) Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam. Kami mempunyai harta dan banyak pekerjaan. Akan tetapi, manusia pada waktu itu tidak ada yang berbuat dusta. Sahabat yang hadir meriwayatkan hadits yang didengarnya dari Rasulullah shallallâhi ‘alayhi wa sallam kepada sahabat lain yang tidak hadir.” (M. Ajaj Al-Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, hlm. 86-88)

Demikianlah semangat para sahabat dalam mencari ilmu. Semangat mereka mampu menghidupkan iklim intelektual Islam. Dengan ilmu, bangsa Arab yang dulu ummi dan tidak begitu dianggap oleh bangsa-bangsa lainnya akhirnya mampu menaklukkan dua superpower dunia waktu itu –Romawi dan Persia– dan tampil membangun peradaban yang gemilang. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here