Pesan Perintah Iqra’

0
349
Al quran

Oleh: Dr Muhammad Isa Anshory

Pada 17 Ramadhan tahun 610 M, Muhammad seperti biasanya diam menyendiri di gua Hira’. Kebiasaan ini ia lakukan selama beberapa hari di tempat sepi tersebut. Ia membawa bekal makanan secukupnya. Apabila habis, ia pulang ke rumah istrinya Khadijah untuk mengambil bekal baru dan segera kembali ke tempat semula. Ia habiskan waktunya untuk merenung dan memikirkan kondisi kaumnya, kaum Quraisy, yang hidup dalam degradasi moral. Bukan hanya kaum Quraisy, bahkan kondisi seluruh manusia saat itu tidak jauh berbeda.

Kondisi demikian digambarkan oleh Abul Hasan Ali An-Nadawi, “Tak dapat disangkal lagi, abad-abad ke-6 dan ke-7 M adalah periode sejarah yang paling suram. Nilai kemanusian telah merosot hebat sejak berabad-abad dan semakin hari semakin cepat meluncur menuju titik kehancuran. Tidak ada satu pun kekuatan di atas muka bumi ini yang mampu menyelamatkannya dari kebinasaan. Pada abad-abad itu manusia telah lupa kepada Sang Penciptanya; lupa diri dan lupa harus ke mana kembali. Pertimbangan akalnya telah hilang… Dakwah para nabi pun telah lenyap tak berbekas…” (Mâdzâ Khasira Al-‘Âlam bi Inhithâth Al-Muslimîn, hlm. 29)

Ketika sedang menyendiri dan larut dalam tahannuts-nya, tiba-tiba datang sosok asing yang belum pernah dijumpainya. Muhammad terkejut dan takut. Sosok itu menghampirinya, lalu memerintah, “Iqra’! Bacalah!”, sambil mendekapnya erat-erat hingga membuatnya susah bernafas. Muhammad menjawab bahwa ia tidak bisa membaca. Akan tetapi, sosok itu mengulanginya hingga tiga kali. Muhammad pun tetap memberikan jawaban yang sama. Setelah itu, barulah ia bertanya, “Apa yang harus aku baca?” Sosok asing yang ternyata adalah malaikat Jibril lalu membacakan, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(Al-‘Alaq: 1-5) Inilah wahyu pertama. Dengan demikian, Muhammad pun diangkat menjadi nabi.

Tradisi Baca Tulis di Kalangan Bangsa Arab

Nabi Muhammad adalah nabi yang ummi. Ia tidak bisa menulis dan membaca. Pada saat perintah iqra’ itu turun, yang ummi bukan hanya ia seorang diri. Fenomena ummi ini mudah ditemukan di kalangan bangsa Arab secara umum.

Sebelum kedatangan Islam, tradisi membaca dan menulis belum berkembang di kalangan bangsa Arab. Yang berkembang cukup bagus adalah tradisi lisan. Orang Arab lebih suka menghafal daripada menulis. Yang mereka hafal adalah nasab dan syair. Kedua hal ini bahkan menjadi kebanggaan bagi mereka. Orang Arab membuat acara-acara tertentu untuk memamerkan karya sastra mereka, terutama syair.

Kemampuan membaca dan menulis belum menjadi prioritas, bahkan belum menjadi kebutuhan hidup masyarakat Arab jahiliyah. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan orang Arab yang hidup secara nomaden. Dalam kehidupan masyarakat nomaden, perhatian mereka tidak terfokus pada keterampilan membaca dan menulis, tetapi lebih pada kebutuhan makan dan minum. 

Keterampilan membaca dan menulis hanya dimiliki orang perorang. Orang yang pertama kali menjadi guru menulis sebagai profesinya di Jazirah Arab menurut Ahmad Syalabi adalah seseorang berasal dari Wadil Qurra. Di antara penduduk Mekah yang pertama kali belajar menurut Ibnu Khaldun adalah Sufyan bin Umayyah dan Harb bin Umayyah. Keduanya belajar dari Aslam ibnu Sidrah di negeri Hirah. Mereka belajar menulis dan membaca karena dibutuhkan untuk urusan dagang. (Ahmad Sjalabi, Sedjarah Pendidikan Islam, hlm. 33)

Bangsa Arab mempunyai pandangan yang tidak sama terhadap orang yang mampu menulis dan membaca. Sebagian mereka mengapresiasinya, namun sebagian lain justru mencelanya. Muhammad Musthafa Al-Azami mengatakan bahwa kegiatan tulis menulis dalam kehidupan orang-orang Arab jahiliyah mempunyai peranan yang sangat penting dan tradisi tersebut menjadi salah satu unsur kesempurnaan seseorang. Seorang anggota masyarakat yang bisa membaca dan menulis mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat dibandingkan dengan mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, terutama setelah Islam datang. (M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hlm. 75)

Sebaliknya, sebagian lain memandang bahwa harga diri masyarakat Arab bukan berstandarkan pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi keunggulan mereka dalam menghafal. Dalam tradisi mereka, bila kemampuan seseorang sangat kuat dalam membaca dan menulis, itu menandakan orang tersebut lemah hafalannya. Kelemahan hafalan di kalangan mereka adalah aib. Oleh karena itu, orang Arab sangat takut jika kemampuan membaca dan menulisnya diketahui orang lain, sebab hal tersebut menjadi rahasia kelemahan seseorang. (Muh. Misdar, Sejarah Pendidikan dalam Islam, 42)

Pesan Perintah Iqra’

Kembali ke peristiwa di gua Hira’. Setelah tiga kali malaikat Jibril mendekap kuat, Nabi bertanya mengenai apa yang harus ia baca. Bisa jadi pertanyaan ini bertujuan membebaskannya dari dekapan Jibril. Bisa jadi juga ketika itu ia baru sadar bahwa perintah “membaca” yang dimaksud bukanlah dalam  pengertian “mengucapkan secara jelas sesuatu yang tertulis dalam satu naskah, tetapi maknanya adalah membaca atau menghimpun dalam benak sesuatu walau tanpa ada teks tertulis”, karena memang demikian salah satu makna dari kata iqra’/qira’ah. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here