Qudwah Shalihah: Mendidik Anak dengan Keteladanan

0
118
anak berdoa

(Serial Qur’anic Parenting)

Oleh: Dr Hakimuddin Salim

Tarjamah tafsiriyah: “Dan aku (Yusuf) mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami para Nabi mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia seluruhnya; tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri-Nya” (QS. Yusuf: 39).

Melalui ayat di atas, kita akan kembali mengupas kisah kehidupan Nabi Yusuf, yang di dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Ahsanul Qashashi”, yaitu sebuah kisah terbaik. Bukan hanya karena plot-nya yang meliuk-liuk, dramatis, dan mengharu-biru, tetapi juga karena banyaknya nilai dan bermacam hikmah yang bisa kita ambil dari kisah itu. Khusus ayat tersebut di atas, ada nilai-nilai ketauhidan dan retorika dakwah yang bisa kita ambil. Tetapi kita ingin fokus pada penggalan pertama dari ayat tersebut yang menginspirasi kita betapa besar pengaruh keteladanan orang tua Nabi Yusuf pada dirinya.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa beginilah kondisi orang yang mengikuti jalan petunjuk, mengikuti teladan para Nabi, berpaling dari jalan orang-orang zhalim, maka itu memberinya petunjuk dan mengajarinya apa yang tidak ia tahu, dan menjadikannya pemimpin yang diteladani.

Dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, tentu kita terkagum dengan keshalihan dan kematangan jiwa Nabi Yusuf dalam menghadapi berbagai masalah pelik dalam hidupnya. Dari ia dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, ditemu oleh kafilah dagang dan dijual, dipungut oleh keluarga kerajaan, kegemilangannya menjadi menteri keuangan, digoda oleh istri raja dan ia menolaknya, lalu dipenjara dan berdakwah kepada narapidana, hingga kelonggaran hatinya saat bertemu kembali saudara-saudaranya.

Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang Yusuf muda bisa mempunyai karakter dan ketangguhan iman seperti itu? Padahal sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, bahwa Nabi Yusuf itu terpisah dari orang tuanya pada usia 17 tahun. Setelah itu, selama 80 tahun ia hidup dalam sebuah lingkungan yang jauh dari nilai tauhid, bahkan bergelimang syirik (Al-Bidayah wa An-Nihāyah: 1/366).

Jawabannya, tentu selain taufiq dari Allah Ta’ala, itu adalah buah dari efektivitas tarbiyah (pendidikan) yang diberikan oleh ayahnya, Nabi Ya’qub, dalam rentang waktu yang tidak lama, yaitu selama kurang lebih 17 tahun. Dan dalam ayat di atas disebutkan, bahwa keistiqomahan Nabi Yusuf dalam bertauhid disebabkan karena mengikuti jejak leluhurnya. Memori Qudwah Shalihah (teladan sholih) yang diberikan langsung oleh bapaknya, dan memori Uswah Hasanah (contoh baik) yang diceritakan turun-temurun tentang leluhurnya, yaitu Nabi Ibrahim dan Ishaq; menjadi pelindung yang kuat dari kotoran aqidah dan polusi akhlak yang ada di sekitarnya.

Dari sini bisa disimpulkan akan urgensi Uslūbul Qudwah Ash-Shālihah (metode mendidik dengan keteladanan) yang sangat membekas pada akal dan sanubari anak-anak. Abdullah Nashih ‘Ulwan menegaskan, “Qudwah sangat penting dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, ia memberi para pengikut gambaran yang hidup dan aplikatif untuk dicontoh, berdasar tabiat manusia yang memang butuh untuk meniru dan mengikuti. Dengan ini mendidik melalui keteladanan sangat sesuai dengan fitrah manusia dan berpengaruh dalam membentuk kepribadian” (Tarbiyatul Aulād fil Islām: 123).

Keputusan Allah Ta’ala untuk mengutus seorang Rasul dari kalangan manusia (bukan dari malaikat) juga dalam rangka agar mudah untuk ditiru dan diteladani dalam paraktek kehidupan sehari-hari. Dalam beribadah, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, berdagang, hingga cara masuk kamar mandi. Maka Allah Ta’ala menegaskan, “Sungguh ada pada diri Rasulullah contoh yang baik” (QS. Al-Ahzāb: 21).

Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri, dalam mendidik para sahabat juga menggunakan metode ampuh ini. Seperti saat beliau ingin mengajari mereka sholat, beliau bersabda, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR. Ibnu Hibbân). Atau saat beliau ingin mengajari cara mereka berhaji, beliau bersabda, “Ambillah dariku cara manasik Haji kalian” (HR. Muslim).

Berdasarkan beberapa point di atas, sangat penting bagi para orang tua untuk menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Seperti pada Yusuf remaja, yang paling kuat melekat dalam benak seorang anak adalah memori keteladanan orang tua, karena ia adalah yang pertama dan tiap hari dilihatnya. Terutama bagi anak-anak dalam Marhalah Tasybīh wa Taqlīd (fase meniru dan mengikuti). Dimana dalam fase itu, contoh nyata dari para orang tua akan jauh lebih membekas dan lebih mudah ditangkap oleh anaknya, daripada sekedar nasehat atau wejangan.

Apalagi jika nasehat yang diberikan oleh para orang tua itu tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan nyata. Itu bukan hanya tidak akan efektif, tetapi juga bisa menimbulkan apriori, dan yang bahaya bisa kena pasal dalam ayat, “Wahai orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Besar kemurkaan dari Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan” (QS. Ash-Shaf: 3). []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here